Cerpen, yaa cerita pendek! kali ini saya akan
mempublikasikan kepada temen-teman sekalian tentang kisah nyata yang saya alami
melalui sebuah cerpen yang insyaAllah bisa menginspirasi teman-teman untuk
tidak pantang menyerah menjadi sosok pemimpin yang amanah, terutma untuk para
kaum hawa, tapi tak terkeculi kaum adam, dan dalam cerpen ini saya berperan
sebagai Shofaaa:) okeee selamattt menikmati tulisan sederhana karya Salwa
Tsania Nisa, Eaksss;D
Ssssssstttt... dari Mulutku
Karya : Salwa Tsania Nisa
Pagi ini
ku melewati gerbang dengan sangat riang, suasana sejuk nan indah di atmosfer
sekolah yang sederhana ini begitu nyaman terasa, dengan iringan lagu kebudayaan
terdengar seakan menjadi paduan yang sepadan. Langkah kaki, ku ayunkan begitu
tangguh penuh semangat haru ditahun ajaran baru. Kelas pamungkas sekaligus
titik akhir perjuangan ditingkat menengah kini berada tepat di hadapanku. Porsi
belajar, porsi membaca hingga porsi makan kini bertambah. Maklumi saja,
gerombolan jenis ujian akan datang menghampiri, di ujung tombak studi SMP.
Di tengah doa
dan usaha menapaki kelas terakhir SMP ini, penuh harap dalam benak ini untuk
bisa merasakan menjadi warga kelas biasa dikesempatan ini setelah kelas VII dan
VIII aku menjadi ketua kelas bahkan sejak aku duduk di bangku kelas IV SD.
Namun, harapan ini pupus seketika, saat hasil pemilihan pengurus kelas berkata
lain. Ya, di bawah pimpinan Bu Lestari wali kelas kami, terpilihlah satu nama
yang menjadi ketua kelas yaitu Shofa Fatimah Az-Zahra, itu aku.
Jujur saja, bukan tak mau. Namun, rasa jenuh
seorang remaja nampaknya tak bisa dibohongi kala itu.Terlebih lagi, aku adalah
seorang wanita. Dalam hati ini sebenarnya ingin sekali memberikan kesempatan
kepada teman yang lain untuk menjadi ketua kelas. Tapi, apa daya amanah telah
menghampiriku. Entah apa yang membuat mereka memilihku lagi, nampaknya aura dan
pesona kecantikan diriku belum pudar, eh ralat pesona kepemimpinan maksudku,
hehe. Mungkin melalui ketua kelas Allah SWT ingin mengajarkanku untuk menjadi
pribadi yang lebih baik lagi.
Aku rasa,
semakin tinggi pohon, akan semangkin kencang angin menerpa. Mungkin itu
pribahasa yang cocok untukku saat ini. Ujian sebagai ketua kelas makin terasa
berat di kelas IX ini. Bagaimana tidak mungkin menurut sebagian siswa, sekarang
kami adalah senior yang bisa saja merasa berkuasa sehinga seakan bisa berbuat
apa saja dan sangat sulit untuk diatur. Namun, apapun konseksuensinya, aku akan
berusaha menetralisir kekacauan yang terjadi.
"Sssssssttttttt...." nada tegas tanda perintah,sembari
mendekatkan telunjuk tangan tepat berada di depan mulut adalah andalan yang
menjadi cara paling sederhana, efektif dan efesien yang aku gunakan agar anak
kelas tak lagi berbuat sesuatu yang tak diinginkan.
Situasi kelas
pagi ini sangat persis seperti masa yang sedang unjuk rasa tepat melewati pertengahan semester 5 ini,
kekacauan dimana-mana, ban mobil dan motor dibakar sebagai tanda protes,
terdengar teriakan disegala sudut "TURUNKAN BBM!". Eittsss, ini kisah
sekolah yah bukan pemerintahan. Melihat situasi
seperti ini, jiwa kepemimpinanku terpanggil dan..
"Ssssssssstttt..!!! Jangan
berisik klian teh, pada diem di bangku masing-masing jangan susah diatur kaya
anak TK! Bu Indah mau dipanggil" kataku setelah sebelumnya aku meminta
tolong kepada penanggungjawab mata pelajaran Bahasa Indonesia untuk memanggil
guru mata pelajarannya. Belum sempat aku kembali duduk dikursi, terlihat
seorang mengacungkan kepalan tangan dengan mata melotot tajam penuh ancaman
kepadaku.
"Gausah dipanggil, males
belajar nih, atau lu mau ini?" kata Akbar mengepalkan tangan.
"Ngapain kamu kesini kalo
males belajar, kamu kira aku takut sama ancaman kamu!" jawabku, jujur aku
adalah orang yang tak mau kalah, selalu mempertahankan argumen selama itu benar
dan untuk kepentingan bersama.
Akbar adalah jagonya kelas kami,
seorang anak guru di sekolah ini yang hampir semua siswa kelas IX A takluk
olehnya. Di sisi lain, dia berperan sebagai pencair suasana di kelas, bisa
disebut humorislah yab. Bisa jadi bersahabat, bisa juga jadi musuh saat situasi
seperti ini.
Tak lama setelah itu,
penanggungjawab mata pelajaran yang tadi memanggil Guru mata pelajarannya,
kembali bersama bu Indah.
"Assalamualaikum?" ucap
Bu Indah seraya menaruh tas.
"walaikumussalam" jawab
kami serempak.
Aku tersenyum menantang sambil
mengqngjat alis kananku yang qku tunjukan kepada Akbar. Saat itu Akbar tak bisa
berkutik, hanya pasrah menerima kenyataan yang terjadi.
Saat KBM berlangsung, tak
tangung-tanggungnya Akbar dan beberapa teman yang lain beraninya mengobrol saat
guru menerangkan. Aku yang tak bisa membiarkan ini terjadi, sempat kesal, takut
kelasku tercinta ini dianggap kelas yg tidak bisa menghargai guru dan tukang
ngobrol. Tentu aku tak mau hal ini terjadi, terlebih sebelumnya pun ada
beberapa guru yang menganggap kelasku sering mengobrol, padahal situasi dan
kondisi kelas kami ada di titik yang selalu disalahkan kala itu dan aku tak mau
ini terjadi karena jelas! Ini adalah tanggungjawabku.
"Sssssttttttt...!"
ucapku dengan tatapan tajam mengarah mereka yang mengobrol karna tak tahan lagi
jika harus membiarkan mereka. Mereka pun menatap ke araku, menghentikan
pembicaraan dan kembali memperhatikan karena tau apa maksudku. Tapi tidak
dengan Akbar yang kebelutan saat itu ia duduk tepat di belakangku.
"Hak atuh, mau ngobrol atau
jungkir balik juga, ini kan hidup aku, gausah kamu atur, Shof!" bisiknya
tepat di telinga kiriku, dengan nada yang membuatku muak padanya.
"Ssssstttttt...!" Reflek
dari mulutku, seraya mengangkat kedua tangan untuk menutup telinga. Sssttt
kedua kalinya saat pelajaran berlangsung. Sebetulnya aku tak berani mengatakan
itu saat KBM berlangsung, takutnya guru tersinggung dan menghentikan
penjelasannya. Namun, aku tak kuasa membiarkan teman-temanku terbiasa melalukan
yang buruk.
Ternyata selama KBM berlangsung,
sepertinya selama itu pula Bu Indah memperhatikan tingkah laku ku. Sebelum
mengakhiri pelajarannya, beliau berkata.
"Ibu jadi tersenyum sendiri
saat melihat Shofa menegur teman dengan 'sssttt'nya itu, saat melihat temannya
saat KBM berlangsung. Sepertinya akan sangat unik ya jika dijadikan sebuah
cerita. Itu bagus, tapi akan lebih bagus lagi jika kamu membiarkannya saja,
nantinya ia akan merasakan sendiri akibat dari ulahnya itu," dengan nada
lembut beliau.
"hehe, iya, Bu" jawabku
malu karena merasa mungkin caraku salah, terlalu belebihan mengatur
teman-teman. Tapi maksudku tak lain, kembali hanya untuk mereka semata.
"Aku bilang juga apa, gausah
ngaturin hidup aku, Shof!" kata Akbar dengan nada merayu ekspresi laga
orang sok jagoannyabia keluar, sebelum ia pergi ke kantik jam istirahat. Yah,
aku sih yang cuman anggap dia angin lalu, biarkan dia yang merasakan sendiri
akibat dari ulahnya, seperti kata Bu Indah.
Ini kali kedua suasana kelas
lagi-lagi seperti amukan pengunjuk rasa, bahkan melebihi itu. Gaduhnya disegala
sudut tercipta, terasa seperti situasi antar pelajar yang terjadi di dalam
kelas. Saat itu, lagi-lagi Akbar yang mempropokatorinya.
Dilema menjadi ketua kelas,
benar-benar terjadi kali ini. Aku harus memilih antara membiarkan mereka tetap
seperti ini dengan konsekuensi pasti kena marah guru, atau mengurai kegaduhan
ini, dengan konsekuensi kata-kata yang mereka lontarkan padaku tanpa pikir
panjang 'Biarin dong Shof! Hak kita kan! Yang kena marah kira kan, kenapa kamu
yang repot!'. Pilihan sulit ini terbayang dalam pikiranku, seakan terdengar
seperti suara pantulan. Mereka tak mengerti bagaimana memegang amanah ini, yaa
sederhana memang, tapi sangat sulit. Benar-benar dilema ku rasakan kali ini.
'Apa yang harus aku lakukan(?)' teriakku dalam hati.
"Shof, itu anak-anak atuh ih
gapada bisa diem, suruh diem coba, itu di kelas sebelah Bu Lestari lagi ngajar,
mau kita dimarahin sama wali kelas sendiri?" kata sahabatku Diana yang
tepat duduk di sampingku. Kata-kata terakhir yang diucapkan Diana seakan terus
menggema dalam pikiranku, dan akhirnyaaa
"Ssssssssssssssssstttttttt!!!!!"
dengan tegas dan lebih panjang dari komando biasanya, saatku mengucapkan kata
itu, saat itu pula apa yang Diana katakan terjadi.
"Astagfirullah, ngapain
kalian teh, tau ga sekarang itu jam KBM, kalo guru gaada gausah berisik.
Kerjain tugasnya, untung Ibu yang negur kalian, coba kalo Ibu denger berita ini
dari guru lain, Ibu sendiri yang akan malu jadi wali kelas kalian!" ucap
Bu Lestari dengan nada cukup tinggi, padahal sebelumnya ibu tak pernah semarah
ini.
"Ibu paham apa yang kalian
inginkan, tapi caranya tidak seperti ini. Saat kalian butuh waktu bermain,
bercanda ataupun sekedar bergurau dengan teman, itu ada waktunya dan kalian pun
harus tau sikon, di luar KBM misalnya, tapi tetap, jangan merugikan oranglain
terutama diri sendiri!" lanjut Bu Lestari meredam kemarahannya dengan nada
lembut seperti seorang ibu menasihati anaknya.
Situasi kelas yang begitu gaduhnya
seketika hening seperti di pemakaman saat Bu Lestari menegur kita semua. Kepala
ditundukan, hati tak karuan, rasa penyesalan amat dalam nampak terasa kali itu
di atmosfer kelas IX A yang dirasakan oleh penghuninya. Ya! Kami, siswa-siswi
berjumlah 36 orang, 18 kaum adam dan 18 kaum hawa, yang telah menggoreskan luka
dihati wali kelas kami sendiri.
"Maafin kami, Bu. Kami tak
bermaksud mengecewakan Ibu," kataku merasa sangat bersalah sebagai
pemimpin di kelas ini.
"Tidak! Harusnya saya yang
meminta maaf telah menjadi propokator kegaduhan kelas ini."
Seisi kelas sontak kaget ketika
Akbar mengeluarkan jiwa kepahlawanannya, walaupun menjadi pahlawan kesiangan.
"Iya Bu, Akbar tuh
propokatornya, susah diatur, Bu." wajah polosku reflek berkata demikian
dengan maksud melaporkan sedikit kenyataan tentang Akbar dengan nada candaku.
"Yaelah, ko kamu nyalahin aku
sih!" sahut Akbar yang tetap saja tak mau kalah. Akbar, Akbar.
"Lah, bukannya tadi kamu yang
bilang sendiri kamu salah(?)" jawabku keheranan dengan sikap Akbar yang
tadi seperti pahlawan, eh sekarang seperti bunglon yang berubah-ubah pendirian.
"Sudah ah kalian ini, jadi
berdebat. Kalian anak-anak Ibu yang baik, dan Ibu yakin kalian bisa semakin
dewasa dan mengintropeksi kesalahan diri kalian sendiri. Shofa, kalo ada
apa-apa di kelas ini langsung lapor ke Ibu ya?"
"Siap, Bu!" jawabku
dengan penuh semangat.
"Buat Akbar, jangan susah
diatur, kalo kamu bandel, nanti ayah kamu yang malu," menasehati Akbar.
"Iya Bu. Hehe:D" Akbar
dengan wajah so imutnya tersipu malu, membuat seisi kelas geli melihatnya,
sehingga berderai riuh rendah menyoraki dan menertawakan Akbar serempak.
"Huuuuuuuuuuu.....
Hahahahaha,"
"Anak Pak *teet* dasar!"
celetuk seorang di samping kanan ruangan.
Suasana kelas menjadi sangat hangat dengan terjadinya
peristiwa ini. Inilah yang disebut dengan hikmah dibalik masalah. Kebersamaan
dan kekompakan semakin terasa dibulan-bulan terakhir kita bersama.
'Ssssssssttttttt' yang membuatku dilema, menjadi cerita berharga yang sangat
sempurna bersama kelas IX A:).
TentangPenulis
Hallo
KawanJ Nama lengkap saya Salwa Tsania
Nisa, sering dipanggil Salwa. Sukabumi adalah tempat kelahiran tepatnya pada tanggal
15 September 2001 kala itu saya keluar dari perut mulia seorang ibu. Ini adalah
cerpen dari kisah yang saya alami dan merupakan cerpen pertama yang saya buat
selama 14 tahun saya menginjak bumi ini. Niat saya untuk menciptakan berbagai
tulisan sebetulnya sudah ada dalam benak ini sedari saya duduk di bangku kelas
IV SD. Namun entah mengapa, harapan itu selalu kalah kuat dengan rasa malas dan
takut salah yang menghantui diri saya.
Kali ini
barulah saya memulai untuk membuat cerpen karena ada tugas Bahasa Indonesia di
kelas IX.Namanya tugas mau tak mau harus dikerjakan untuk memenuhi berbagai nilai,
dan akhirnya saya bisa mengalahkan rasa malas oleh tekad yang kuat. Setelah
saya memulai untuk menulis, rasa ketagihan mulai timbul dalam benak ini. Greget
membaca karya sendirinya ituloh yang sangat bangga terasa. Nahh, mudah-mudahan
untuk selanjutnya saya bisa membiasakan diri untuk menulis sebuah karya yang
bisa disebar luaskan diseluruh pelosok nusantara. Amiiinnn:)
0 komentar: